Pertemuan keempat mata kuliah
Teknologi Komunikasi membahas mengenai perspektif positif dan pesimis internet
dalam berbagai hal. Salah satunya berbicara mengenai akses. Perspektif pesimis
dalam buku Hand Book of New Media :
Social Shaping and Social Consequences of ITCs secara garis besar
menekankan pada akses yang tidak merata yang kemudian menguntungkan sebagian
pihak saja. Penelitian yang dilakukan oleh Neu (1999) mengungkapkan bahwa
masyarakat minoritas seperti masyarakat Afrika adalah salah satu masyarakat
yang terdampak akibat ketidakmerataan akses internet. Karena hal tersebut,
masyarakat Afrika kehilangan hak untuk berpartsipasi dalam internet. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Howard (2002) juga menjelaskan bahwa ketidakmerataan
akses ini juga dibuktikan oleh beberapa indikator lain seperti gender, ras,
tingkat penghasilan, tingkat pendidikan, dan pengalaman selama di dunia maya.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa ketidakmerataan ini tidak hanya terjadi
di Afrika saja, tetapi juga di negara-negara berkembang lain seperti di
Indonesia. Permasalahan ini terlihat pada saat pemerintah menerapkan kebijakan
Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang sudah dilaksanakan sejak tahun
2016 namun masih terdapat berbagai kendala seperti yang terjadi di SMAS Nusa
Bangsa, Kabupaten Mamasa yang harus menumpang di SMA Budi Mulia Kalukku,
Kabupaten Mamuju karena terbatasnya fasilitas komputer dan jaringan internet.
Perspektif
pesimis mengenai akses internet dalam buku tersebut hanya berfokus pada
ketidakmerataan akses internet. Namun di sisi lain terdapat fenomena lain yang
menjadi perspektif pesimis mengenai akses. Ketika kita membahas mengenai
ketidakmerataan akses, maka di satu sisi ada kemudahan akses. Dari kemudahan
akses inilah kemudian informasi akan bergerak sangat cepat sehingga terjadilah
suatu fenomena yang disebut dengan tsunami informasi. Masyarakat yang mengalami
tsunami informasi ini dapat dengan mudah mendapatkan infromasi apapun baik
informasi tentang peristiwa yang baru saja terjadi maupun informasi-informasi
kolektif lainnya. Sayangnya, fenomena tsunami informasi yang tidak diimbangi
dengan literasi masyarakat akan menimbulkan berbagai masalah seperti hoaks dan
penyebaran konten-konten negatif.
Salah satu dampak akibat fenomena
tsunami informasi adalah munculnya pola terorisme baru. Aksi terorisme yang
terjadi di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di kota Chirstchurch, Selandia
Baru adalah salah satu bentuk aksi teror yang memanfaatkan internet untuk
menyebarluaskan teror. Melalui media sosial Facebook, Brenton Tarrant (pelaku)
menggunakan fitur live-streaming untuk
menyebarluaskan aksi teror yang menewaskan 49 orang tersebut. Tarrant merekam
aksinya sendiri dengan kamera menghadap ke depan sehingga terlihat jelas
bagaimana korban ditembak dengan brutal. Pihak Facebook melalui juru bicaranya
Mia Garlick yang dikutip dari The
Washington Post mengatakan video live-streaming
tersebut kemudian diunggah ulang oleh kurang lebih 1,5 juta akun dalam
kurun waktu 24 jam. Untuk membendung video teror tersebut, Facebook juga telah
menghapus akun pelaku dan menghapus semua video live-streaming yang diunggah kembali. Namun usaha Facebook
menghapus video tersebut ternyata tidak cukup untuk membendung aksi teror.
Video yang sudah diunduh oleh jutaan orang tersebut masih dapat diakses dan
masih terus disebarkan di berbagai sosial media lain seperti Line, Instagram,
dan Whatsapp terhitung satu minggu sejak terjadinya peristiwa teror tersebut.
Kasus penyebaran video pembunuhan
tersebut dapat dianggap sebagai cara baru untuk menyebarkan teror. Kasus-kasus
serupa juga menjadi trend beberapa
tahun terakhir dengan format yang kurang lebih sama. Selain kasus tersebut, ada
beberapa pola terorisme yang disebarkan melalui media sosial seperti kasus ISIS
yang merilis video pemenggalan kepala jurnalis Amerika Serikat pada tahun 2014,
kasus pembunuhan pada kakek berusia 74 tahun di Amerika Serikat yang disiarkan
secara live-streaming di Facebook
pada April 2017, dan kasus pembunuhan seorang remaja oleh ayah kandungnya di
Thailand pada April 2017. Dalam jurnal yang berjudul Terrorism, the Internet and the Social Media Advantage, Luke
Bertram mengungkapkan dua fungsi internet bagi kelompok teroris. Fungsi pertama
adalah sebagai media komunikasi yang mencakup rekrutmen, pendirian forum, kerja
sama dengan jaringan teroris lainnya, dan sarana pendistribusian materi
propaganda. Fungsi kedua yaitu untuk mempermudah operasional kelompok seperti
melakukan sabotase infrastruktur dan menggungah aksi-aksi teror di media
sosial.
Dari kasus penembakan di Selandia
Baru tersebut kita mendapatkan perspektif pesimis baru mengenai akses. Berbicara
mengenai akses tidak hanya membahas mengenai ketidakmerataan saja, tetapi juga
dari sisi kemudahan akses. Kemudahan akses yang didapatkan oleh sebagian orang
di dunia juga menimbulkan berbagai dampak, salah satunya dimanfaatkan oleh kaum
teroris untuk menebarkan ketakutan di masyarakat. Kelompok teroris ini tidak
perlu lagi melakukan aksi-aksi yang membutuhkan dana sangat besar seperti pada
kasus Bom Bali I dan II yang memakan banyak korban. Mereka hanya melakukan aksi
pada beberapa orang kemudian aksi tersebut akan diunggah di media sosial. Pola
semacam ini dinilai lebih ekonomis dan efektif. Masyarakat akan merasa takut
dengan sendirinya ketika melihat video yang mereka buat. Mereka memanfaatkan
kemudahan akses serta fenomena tsunami informasi yang ada pada saat ini untuk
menyebarkan ketakutan di masyarakat.
Belajar dari pola-pola baru terorisme
ini, beberapa platform sosial media
seperti Google, Facebook, Twitter, dan Microsoft membentuk Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT) atau Forum Internet Global untuk
Menangkal Terorisme. GIFCT ini mengandalkan mesin kecerdasan buatan (AI) dan
bank data hash yang akan mencocokkan
gambar kemudian melacak akun dan video yang terdeteksi sebagai teroris. Namun
pada kenyataannya solusi yang berbasis teknologi ini tidak selamanya berjalan
dengan lancar karena sistem algoritma yang digunakan tidak seratus persen
berhasil mengidentifikasi akun-akun dengan konten terorisme. Usaha untuk
mencegah aksi teror tersebut tidak hanya dilakukan oleh platform media sosial sebagai tempat penyebaran konten saja, tetapi
juga dilakukan oleh media dan individu. Media konvensional dituntut untuk
melakukan peliputan serta pemberitaan yang kredibel dan tidak menambah
ketakutan masyarakat. Selain itu, peran dari individu sebagai orang yang menggunakan
media sosial hendaknya bijak dalam menanggapi konten-konten negatif (dalam hal
ini adalah video aksi teror) yaitu dengan tidak menyebarkan video aksi teror.
Apabila kita ikut menyebarkan video tersebut, kita turut “menggagalkan” teror
yang diinginkan oleh kelompok teroris.
DAFTAR
PUSTAKA
Irfani, Faisal. “Bagaimana Teroris Menyebar
Ketakutan Lewat Video dan Media Sosial”. https://tirto.id/bagaimana-teroris-menyebar-ketakutan-lewat-video-dan-media-sosial-djNQ, diakses pada Sabtu, 23
Maret 2019.
Liverouw
dan Sonia Livingstone (Ed.). 2006. The Handbook
of New Media : Chapter 4. London :
Sage Publications.
Zaenudin, Ahmad. “Gagalnya Media Sosial
Membendung Video Terorisme Selandia Baru”. https://tirto.id/gagalnya-media-sosial-membendung-video-terorisme-selandia-baru-djMX, diakses pada Jumat
22 Maret 2019.
0 komentar:
Posting Komentar