Sabtu, 23 Maret 2019

Perspektif Pesimis Baru mengenai Akses Internet : Kegagalan Sosial Media dalam Membendung Video Terorisme Selandia Baru

Diposting oleh Laksmi Pradipta di 18.09

            Pertemuan keempat mata kuliah Teknologi Komunikasi membahas mengenai perspektif positif dan pesimis internet dalam berbagai hal. Salah satunya berbicara mengenai akses. Perspektif pesimis dalam buku Hand Book of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs secara garis besar menekankan pada akses yang tidak merata yang kemudian menguntungkan sebagian pihak saja. Penelitian yang dilakukan oleh Neu (1999) mengungkapkan bahwa masyarakat minoritas seperti masyarakat Afrika adalah salah satu masyarakat yang terdampak akibat ketidakmerataan akses internet. Karena hal tersebut, masyarakat Afrika kehilangan hak untuk berpartsipasi dalam internet. Penelitian lain yang dilakukan oleh Howard (2002) juga menjelaskan bahwa ketidakmerataan akses ini juga dibuktikan oleh beberapa indikator lain seperti gender, ras, tingkat penghasilan, tingkat pendidikan, dan pengalaman selama di dunia maya. Penelitian ini juga membuktikan bahwa ketidakmerataan ini tidak hanya terjadi di Afrika saja, tetapi juga di negara-negara berkembang lain seperti di Indonesia. Permasalahan ini terlihat pada saat pemerintah menerapkan kebijakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2016 namun masih terdapat berbagai kendala seperti yang terjadi di SMAS Nusa Bangsa, Kabupaten Mamasa yang harus menumpang di SMA Budi Mulia Kalukku, Kabupaten Mamuju karena terbatasnya fasilitas komputer dan jaringan internet.

Perspektif pesimis mengenai akses internet dalam buku tersebut hanya berfokus pada ketidakmerataan akses internet. Namun di sisi lain terdapat fenomena lain yang menjadi perspektif pesimis mengenai akses. Ketika kita membahas mengenai ketidakmerataan akses, maka di satu sisi ada kemudahan akses. Dari kemudahan akses inilah kemudian informasi akan bergerak sangat cepat sehingga terjadilah suatu fenomena yang disebut dengan tsunami informasi. Masyarakat yang mengalami tsunami informasi ini dapat dengan mudah mendapatkan infromasi apapun baik informasi tentang peristiwa yang baru saja terjadi maupun informasi-informasi kolektif lainnya. Sayangnya, fenomena tsunami informasi yang tidak diimbangi dengan literasi masyarakat akan menimbulkan berbagai masalah seperti hoaks dan penyebaran konten-konten negatif.

            Salah satu dampak akibat fenomena tsunami informasi adalah munculnya pola terorisme baru. Aksi terorisme yang terjadi di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di kota Chirstchurch, Selandia Baru adalah salah satu bentuk aksi teror yang memanfaatkan internet untuk menyebarluaskan teror. Melalui media sosial Facebook, Brenton Tarrant (pelaku) menggunakan fitur live-streaming untuk menyebarluaskan aksi teror yang menewaskan 49 orang tersebut. Tarrant merekam aksinya sendiri dengan kamera menghadap ke depan sehingga terlihat jelas bagaimana korban ditembak dengan brutal. Pihak Facebook melalui juru bicaranya Mia Garlick yang dikutip dari The Washington Post mengatakan video live-streaming tersebut kemudian diunggah ulang oleh kurang lebih 1,5 juta akun dalam kurun waktu 24 jam. Untuk membendung video teror tersebut, Facebook juga telah menghapus akun pelaku dan menghapus semua video live-streaming yang diunggah kembali. Namun usaha Facebook menghapus video tersebut ternyata tidak cukup untuk membendung aksi teror. Video yang sudah diunduh oleh jutaan orang tersebut masih dapat diakses dan masih terus disebarkan di berbagai sosial media lain seperti Line, Instagram, dan Whatsapp terhitung satu minggu sejak terjadinya peristiwa teror tersebut.

            Kasus penyebaran video pembunuhan tersebut dapat dianggap sebagai cara baru untuk menyebarkan teror. Kasus-kasus serupa juga menjadi trend beberapa tahun terakhir dengan format yang kurang lebih sama. Selain kasus tersebut, ada beberapa pola terorisme yang disebarkan melalui media sosial seperti kasus ISIS yang merilis video pemenggalan kepala jurnalis Amerika Serikat pada tahun 2014, kasus pembunuhan pada kakek berusia 74 tahun di Amerika Serikat yang disiarkan secara live-streaming di Facebook pada April 2017, dan kasus pembunuhan seorang remaja oleh ayah kandungnya di Thailand pada April 2017. Dalam jurnal yang berjudul Terrorism, the Internet and the Social Media Advantage, Luke Bertram mengungkapkan dua fungsi internet bagi kelompok teroris. Fungsi pertama adalah sebagai media komunikasi yang mencakup rekrutmen, pendirian forum, kerja sama dengan jaringan teroris lainnya, dan sarana pendistribusian materi propaganda. Fungsi kedua yaitu untuk mempermudah operasional kelompok seperti melakukan sabotase infrastruktur dan menggungah aksi-aksi teror di media sosial.

            Dari kasus penembakan di Selandia Baru tersebut kita mendapatkan perspektif pesimis baru mengenai akses. Berbicara mengenai akses tidak hanya membahas mengenai ketidakmerataan saja, tetapi juga dari sisi kemudahan akses. Kemudahan akses yang didapatkan oleh sebagian orang di dunia juga menimbulkan berbagai dampak, salah satunya dimanfaatkan oleh kaum teroris untuk menebarkan ketakutan di masyarakat. Kelompok teroris ini tidak perlu lagi melakukan aksi-aksi yang membutuhkan dana sangat besar seperti pada kasus Bom Bali I dan II yang memakan banyak korban. Mereka hanya melakukan aksi pada beberapa orang kemudian aksi tersebut akan diunggah di media sosial. Pola semacam ini dinilai lebih ekonomis dan efektif. Masyarakat akan merasa takut dengan sendirinya ketika melihat video yang mereka buat. Mereka memanfaatkan kemudahan akses serta fenomena tsunami informasi yang ada pada saat ini untuk menyebarkan ketakutan di masyarakat.

            Belajar dari pola-pola baru terorisme ini, beberapa platform sosial media seperti Google, Facebook, Twitter, dan Microsoft membentuk Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT) atau Forum Internet Global untuk Menangkal Terorisme. GIFCT ini mengandalkan mesin kecerdasan buatan (AI) dan bank data hash yang akan mencocokkan gambar kemudian melacak akun dan video yang terdeteksi sebagai teroris. Namun pada kenyataannya solusi yang berbasis teknologi ini tidak selamanya berjalan dengan lancar karena sistem algoritma yang digunakan tidak seratus persen berhasil mengidentifikasi akun-akun dengan konten terorisme. Usaha untuk mencegah aksi teror tersebut tidak hanya dilakukan oleh platform media sosial sebagai tempat penyebaran konten saja, tetapi juga dilakukan oleh media dan individu. Media konvensional dituntut untuk melakukan peliputan serta pemberitaan yang kredibel dan tidak menambah ketakutan masyarakat. Selain itu, peran dari individu sebagai orang yang menggunakan media sosial hendaknya bijak dalam menanggapi konten-konten negatif (dalam hal ini adalah video aksi teror) yaitu dengan tidak menyebarkan video aksi teror. Apabila kita ikut menyebarkan video tersebut, kita turut “menggagalkan” teror yang diinginkan oleh kelompok teroris.


DAFTAR PUSTAKA

Irfani, Faisal. “Bagaimana Teroris Menyebar Ketakutan Lewat Video dan Media Sosial”. https://tirto.id/bagaimana-teroris-menyebar-ketakutan-lewat-video-dan-media-sosial-djNQ, diakses pada Sabtu, 23 Maret 2019.

Liverouw dan Sonia Livingstone (Ed.). 2006. The Handbook of New Media : Chapter 4.   London : Sage Publications.

Zaenudin, Ahmad. “Gagalnya Media Sosial Membendung Video Terorisme Selandia Baru”. https://tirto.id/gagalnya-media-sosial-membendung-video-terorisme-selandia-baru-djMX, diakses pada Jumat 22 Maret 2019.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Amaranggana Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review